Entah bagaimana aku menjelaskan rasa ini. Ini terasa berbeda dari biasanya, sepertinya. Ada banyak rasa yang bercampur jadi satu dalam tiap pelukan dan ciuman sore ini. Di dalamnya kutemukan cinta, rindu, haru, sedih, terima kasih, sayang, bangga, ah sungguh sulit diungkap lewat kata.
Tag: Hikmah
Ukhty, Aku Iri Padamu
Ukhty, aku iri padamu.
Padamu yang kukenal 11 tahun lalu.
Seorang senior di kosan dulu.
Kemarin kita dipertemukan kembali dan tidak ada yang berubah dari dirimu.
Kau masihlah akhawat yang tanggung, lincah, gesit, dan kuat.
Aku iri dengan senyum yang tak pernah hilang darimu meski lelah terpancar jelas dari kedua matamu.
Pemimpin Harus Seorang Muslim
Mengapa harus muslim? Inilah pertanyaan pertama yang muncul di setiap kepala apalagi bagi seseorang yang tidak sependapat dengan hal ini tentu saja. Ada baiknya sebelum meneruskan membaca tulisan ini, rasa di hati dibenahi terlebih dahulu. Gatungkan sementara rasa tidak setuju agar setiap kata dan kalimat yang akan terbaca benar-benar termaknai sesuai pemaknaan penulisnya. Namun jika ternyata rasa di hati tak bisa dibenahi, maka ada baiknya tak perlu meneruskan membaca tulisan ini karena apapun yang terbaca nanti pasti akan tertolak meski saya menuliskannya dengan hati-hati dan sepenuh hati menginginkan yang terbaik bagi kita semua, bagi bangsa ini.
Apa Yang Kita Cari?
Sang Pemimpi – Wanita Kedua
Aku melakukan segalanya dengan canggung. Orang-orang di tempat kerjaku menatap dengan tatapan yang tidak bisa aku jelaskan satu-satu. Ada yang menatapku dengan tatapan menyayangkan, tatapan kasihan, ada juga tatapan sinis; tatapan yang tidak akan pernah terlewat dan jenis tatapan inilah yang sangat banyak diperlihatkan oleh mereka.
The Story of Mudik
Bismillah.
Akhirnya setelah melewati masa transisi dari Jogja ke Wotu, saya bisa menyesuaikan waktu untuk menyempatkan menulis. Kalau di Jogja menulis hampir bisa kapan saja, tapi kalau sudah di rumah orang tua tentu sangat berbeda. Ada banyak kewajiban yang harus didahulukan terlebih dahulu.
Atas Nama Profesionalisme
Baru-baru ini sebuah masalah datang menghantam. Bukan marah, tapi kecewa, itulah yang terasa pada hati kami yang mungkin saat itu sedang mengecil.
Kami kecewa karena husnudzan mulai terabaikan, tabayyun mulai menghilang, padahal mereka adalah orang-orang yang mengaku sebagai thalabul ilmi. Tentu bukan ilmu agamanya yang salah tapi pribadinya yang tidak mengamalkan ilmu yang selama ini ia dapatkan, yang membuat air mata kami terus mengalir.