Diposkan pada Akhlak dan Nasehat, Cerpen

Sang Pemimpi – Wanita Kedua

wanita kedua

Aku melakukan segalanya dengan canggung. Orang-orang di tempat kerjaku menatap dengan tatapan yang tidak bisa aku jelaskan satu-satu. Ada yang menatapku dengan tatapan menyayangkan, tatapan kasihan, ada juga tatapan sinis; tatapan yang tidak akan pernah terlewat dan jenis tatapan inilah yang sangat banyak diperlihatkan oleh mereka.

Ini adalah hari ketiga aku menyandang sebuah status baru. Sebuah status yang hampir merubah seluruh hidupku. Ya, tiga hari yang lalu aku melangsungkan pernikahan sederhana. Aku menikah dengan atasanku. Kami melewati proses ta’aruf seperti akhwat dan ikhwan yang lain meski kondisi kami sedikit berbeda. Ya berbeda karena yang memintaku ta’ruf dengan laki-laki yang shalih itu adalah isterinya, isterinya yang telah menganugerahkannya seorang putra. Aku adalah isteri kedua untuk suamiku.

Kubuka lokerku hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh. Sudah cukup status baruku membuat semua orang lain menoleh ke arahku. Ketika aku mengambil beberapa buku di dalam loker, kudapati sebuah kertas terlipat di dalam sana. Kuambil kertas itu dengan rasa penasaran dan segera membaca apa isinya.

Dik, maafkan aku. Maafkan atas situasi yang kurang nyaman yang harus kau rasakan.

Aku menghela nafas. Dadaku rasanya sesak. Kuputuskan untuk pergi menghirup udara segar di taman belakang. Aku tidak seperti pengantin baru lainnya yang bisa membagi kehabagiaannya pada orang lain. Meski aku merasa bahagia tapi kebanyakan orang lain tak bisa atau lebih tepatnya menolak ikut merasa yang sama.

Mataku menatap langit yang membentang luas di atas sana. Menatap burung-burung kecil yang terbang bebas tanpa gangguan dan rasanya aku pun ingin seperti mereka, memilki tempat yang nyaman untuk diriku.

Aku berbalik ketika kudengar suara-suara langkah tenang mendekatiku. Ia menuju ke arahku, seorang pria dengan jenggot setia menghias dagunya dan celana yang tak pernah melewati mata kakinya. Dia tersenyum penuh keteduhan. Aku membalas senyumnya semampuku. Ya, dia atasanku sekaligus suamiku.

Aku kembali menatap langit ketika ia sudah duduk tepat di sampingku. Ia menatapku dengan sedikit rasa bersalah.

“Kenapa mas mau menikah lagi?”

Aku mendengar ia menarik nafas dengan berat. Pandangannya kini tertuju pada objek yang sejak tadi aku pandangi.

“Awalnya ini sangat sulit.” Gumamnya.

“Apa karena dia yang meminta Mas?” Aku masih menatap angkasa. Ingatanku mundur ke beberapa bulan yang lalu. Saat itu seorang wanita dengan paras keibuan datang menemuiku secara langsung. Aku sudah mengenalnya sejak beberapa tahun yang lalu dan kami sudah saling tahu dengan baik. Tanpa basa basi, ia memintaku menikah dengan suaminya. Sakit yang ia derita mengharuskan dokter mengangkat rahim itu dari tubuhnya. Dan hal ini menjadi alasan terampuh. Ia tidak akan pernah bisa lagi melahirkan seorang anak padahal ia sadar bahwa anak adalah aset yang sangat berharga. Semakin banyak engkau memiliki seorang anak, maka peluang agama ini tetap tegak dan berjaya akan semakin besar.

Dan itulah cita-cita setiap mukmin, cita-cita setiap laki-laki muslim di mana pun berada. Mereka ingin memiliki banyak anak, mendidik dan melatih mereka agar kelak jika telah dewasa, mereka bisa menjadi mujahid, pembela dan penolong-penolong agama Allah dengan jiwa gagah berani, tanpa takut ataupun gentar. Mereka (anak-anak) mampu menjadi kunci surga bagi para orang tua.

Saat ini, ia hanya diam, tidak menjawab. Dan hal itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan yang baru saja aku lontarkan. Aku tersenyum. Tidak ada yang salah. Dia menikah lagi karena pertimbangan yang syar’i, terlebih yang meminta adalah isterinya sendiri. Lalu aku? Aku menerimanya karena …

“Lalu kamu Dik? Mengapa kau mau menikah dengan pria yang sudah memilki isteri? Mengapa kau ingin menjadi wanita yang kedua?”

Aku pun diam. Berharap ia tahu arti dari sikapku. Tak perlu kujelaskan lewat kata. Aku menikah dengan laki-laki yang telah beristri karena ….

-Selesai-

_Nurhudayanti Saleh_ (Jogja, 28/12/2015. Di antara adzan dan iqamah)

___________________________

Hikmah:

  • Poligami adalah bagian dari syari’at Allah Ta’ala. Sebagai seorang muslim kita harus menerima syari’at tersebut meski kita tidak termasuk pelaku poligami. Kita tidak boleh mencela syari’at tersebut, pun tidak boleh mencela pelakunya jika si pelaku melaksanakan hal tersebut sesuai dengan rambu-rambu syari’at (ada syarat yang harus dipenuhi dan harus sesuai tuntunan dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam).
  • Poligami bukanlah keharusan bagi setiap suami. Tapi ia bagian dari sunnah.
  • Sebaik-baik seorang wanita adalah yang taat kepada Allah lalu taat kepada suaminya, baik ia isteri pertama ataupun yang lainnya.

NB:

Sang Pemimpi adalah cerita yang benar-benar terjadi di alam mimpi sang penulis. Tidak ditambahi, pun tidak dikurangi. Penulis menuliskannya semata-mata agar siapapun bisa mengambil ibrah dari mimpi tersebut. Jika ada masukan ataupun nasehat, maka kami menunggu dengan bijak melalui inbox kami ^^

2 tanggapan untuk “Sang Pemimpi – Wanita Kedua

Tinggalkan komentar