Diposkan pada Akhlak dan Nasehat, My Diary

My First Time – Nadzhar

nadzhar

Akhirnya hari ini tiba juga, hari yang membuatku belakangan ini banyak bercermin memperhatikan jerawat yang tak mau hilang atau sekedar melihat bawah mata yang masih kehitaman karena sering begadang untuk menulis beberapa halaman.

Setelah membaca sebuah biodata yang dikirimkan oleh seorang ummahat tempo hari dan telah mendiskusikan hal tersebut dengan mama, akhirnya aku memutuskan melanjutkan proses ini ke jenjang yang lebih serius. Aku bukan wanita pemilih yang harus memiliki pasangan yang sempurna karena aku sadar aku juga bukan wanita yang sempurna, aku memiliki banyak kekurangan. Beruntung Allah Maha Baik, segala kekurangan hamba-Nya bisa tersembunyi hingga hanya Dia dan hamba itu saja yang tahu. Aku sedang membayangkan, apa jadinya jika segala aib itu berwujud jerawat, maka sudah pasti di dunia ini tak ada yang wajahnya mulus bak artis Korea.

Sekali lagi aku mematut wajahku di cermin. Tidak ada yang berbeda. Semua terlihat sama, hanya ada bedak tipis yang menempel di sana.

“Kayaknya tegang banget. Santai aja…” sahabatku menegur karena aku sudah terlalu lama di depan cermin, tak seperti biasanya.

“Mungkin inilah yang disebut sindrom the first time alias pengalaman pertama, hehehe…” Jawabku asal. Ya, ini memang pengalamanku yang pertama, hari yang sepertinya akan terus teringat sebagai hari nadzhar pertama di dalam kelender kehidupanku.

Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Satu per satu murid dan guru lainnya pamit meninggalkan sekolah. Aku masih di ruang guru dengan hati dag dig dug. Kucoba menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan perasaanku. Kuraba saku tas punggungku dan mengeluarkan benda segi empat biru itu. Kubuka benda itu dan kudapati cermin di sana. Ah, ini kali pertama aku membawa bedak dalam tasku.

Hijab telah kupasang dengan rapi. Kain hitam itu membentang dari sisi kiri ruangan sampai ke tengah saja. Sementara setengahnya lagi sengaja tidak dihijab. Hem, nanti juga tahu akan berfungsi sebagai apa. Aku menatap jam dinding yang terpaku balas menatapku. Sudah hampir jam 5. Ini sudah terlalu sore, mengapa mereka belum datang juga.

“Assalamu’alaykum…” suara seorang wanita membuat debaran jantungku semakin terpacu. Suara itu sangat aku kenal. Dia adalah seorang isteri dari ustadz yang akan mendampingi proses nadzhar hari ini.

Aku menjawab salam itu secepat kilat. Ummahat itu lalu masuk melewati hijab dan mengatakan bahwa suaminya dan si ikhwan sudah ada di luar. Aku semakin tak tenang saja dibuatnya. Setelah jeda beberapa menit, ustadz mengucapkan salam dan meminta izin untuk masuk. Kami pun menjawab salam dan mengijinkan keduanya memasuki ruangan yang tak terlalu besar ini. Setelah semua duduk rapi dan antara kami dibatasi sebuah hijab yang tinggi, ustadz pun membuka pertemuan sore mendung ini.

Aku menyimak prolog sang ustdadz dengan seksama. Sesekali beliau terdengar bercanda. Sepertinya bukan aku saja yang merasa tegang tapi juga si ikhwan. Setelah prolog yang tidak terlalu panjang, ustadz memberikan kesempatan kepadaku dan si ikhwan untuk saling berdialog atau menanyakan hal-hal yang belum jelas. Setelah saling lempar kesempatan, akhirnya si ikhwan memulai lebih dulu.

Entah berapa banyak pertanyaan yang ia tanyakan, aku tak ingin repot menghitungnya. Aku hanya menjawab dengan singkat dan jelas semua yang ingin ia ketahui, mulai dari masalah pendidikan, kesehatan, sampai perbedaan budaya di antara kami. Ya, dia seorang ikhwan dari suku Jawa, asli Surakarta. Bicaranya lembut sebagaimana orang Solo kebanyakan. Di dalam hati aku tertawa geli memikirkan reaksinya mengobrol dengan akhwat berdarah Sulawesi yang terkenal dengan sikap tegas, terkadang keras, dan berani.

Setelah puas bertanya ini dan itu, kesempatan bertanya akhirnya menjadi milikku tapi anehnya aku tidak menayakan hal apapun. Bagiku semua sudah jelas. Tapi ustadz memaksaku untuk bertanya agar tak menyesal nantinya. Karena terus dipaksa akhirnya aku bertanya juga,

Dimana antum meletakkan syarat kecantikan dari sekian banyak kriteria yang antum inginkan? Seberapa besar persentasinya?

Ternyata pertanyaan itu membuat si ikhwan menjawab dengan cukup gagap dan gugup sampai ustadz harus membantunya menjelaskan apa yang ia maksudkan. Jika aku adalah si ikhwan, maka jawabanku tentu singkat saja. Namun ternyata jawabannya cukup panjang untuk ia jelaskan sendiri agar aku tak salah kaprah. Ia enggan mengatakan bahwa kecantikan jadi yang utama namun ia juga tak ingin tak mengindahkannya. Aku mengangguk-angguk, jawabannya realistis untuk ukuran seorang pria.

Pertanyaan itu tentu bukan tanpa sebab. Pertama karena aku bukan wanita yang cantik secantik Dian Sastro. Aku hanya tak ingin dia memikirkan terlalu jauh. Dari pertanyaan itu harusnya ia tahu arah dan tujuanku. Kedua, aku sedang mengukur seberapa besar kemiripan isi kepalaku dan kepalanya karena salah satu landasan keluarga yang kokoh adalah kesamaan isi kepala antara suami dan isteri, dan aku bukanlah wanita yang meletakkan fisik di urutan pertama.

Akhirnya setelah tiga pertanyaan yang aku tanyakan, ustadz menutup part dialog sore ini dan memasuki part puncak yang sejak beberapa hari membuatku tidak tenang. Beberapa hari sebelum hari ini, aku telah memikirkan akan bagaimana. Aku memikirkan adegan film ayat-ayat cinta ketika Aisyah membuka cadarnya di depan Fahri lalu Fahri pun terpesona. Dalam hati aku bertanya-tanya, haruskan aku meniru adegan itu? 😀

Ustadz kemudian memberi intruksi agar kami masing-masing mengambil tempat ke sebalah kanan ruangan, sebuah sisi yang tidak dihijab. Nah, sekarang kalian pasti tahu mengapa hijab di ruangan itu buntung, hanya menutupi setengah ruangan.

Aku masih diam di tempatku. Aku menunggu agar ikhwan itu yang lebih dulu mengambil posisi kemudian baru aku agar adegannya mirip di film-film, lelaki yang menanti lalu wanita yang menghampiri. Tapi lama aku menunggu ternyata si ikhwan lebih pemalu. Akhirnya aku mengambil inisiatif lebih dulu. Aku berjalan ke sisi kanan dan mengambil posisi duduk. Cadarku sudah kuturankan lebih dulu, hilang sudah harapan adegan film ayat-ayat cinta itu. Setelah kupikir-pikir aku bukan tipe wanita seperti Aisyah, aku lebih seperti Khadijah yang memiliki cukup keberanian untuk melamar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lebih dulu, meski konteksnya kali ini bukan melamar tapi menampakkan diri lebih dulu.

Si ikhwan pun mulai bergerak untuk mengambil tempatnya di sisi kanan tepat di depanku. Yang pertama kali kulihat adalah kemeja batik lengan panjang dengan celana hitam yang cingkrang. Sampai di sini aku merasa peran kami tertukar. Aku layaknya seorang ikhwan dan dia seorang akhwat, lucu. Setelah itu aku tak berani melihat lebih. Kami saling tertunduk. Bagiku bukan karena malu tapi karena memang seharusnya begitu sampai akhirnya ustadz memberi instruksi agar kami saling melihat wajah satu sama lain.

Karena aku tidak ingin ada adegan saling tatap-tatapan, akhirnya aku memberi kesempatan kepadanya lebih dulu untuk melihat wajahku dengan seksama. Aku mengangkat wajahku yang tertunduk dan menatap tembok yang kini mungkin sedang tersenyum malu-malu. Sebenarnya aku merasa ini bukan hari yang tepat karena pagi tadi di sekolah kami mengadakan acara bakar-bakar sate sisa daging kurban kemarin. Hari ini aku khawatir aromaku aroma daging dan wajahku kucel terkena banyak asap. Tapi mau bagaimana lagi. Nikmatilah sajianku sore ini hai lelaki 😀

Lalu ketika aku merasa dia telah cukup melihat wajahku, aku mulai menggerakkan bola mataku untuk menatap wajahnya. Pada saat itu, ia juga mengambil langkah sepertiku, membuang tatapannya ke sisi lain, namun di satu titik dan hanya beberapa detik, mata kami saling bertemu. Buru-buru kami mengalihkan pandangan.

Karena sore ini mendung dan aku tidak berniat lama-lama melihat wajahnya, maka yang kudapati adalah wajah lelaki tirus, berjenggot tipis. Ya, hanya itu. Ustadz pun menginjinkan kami untuk berdialog secara langsung. Kembali si ikhwan bertanya. Kali ini ia bertanya hal apa yang akan kulakukan setelah menikah nanti misalnya. Akupun menjawab sederhana, aku akan tetap di rumah kecuali untuk beberapa hal yakni berdakwah dan menuntut ilmu. Dan aku akan tetap menulis. Ikhwan itu mengangguk-angguk.

Tibalah giliranku untuk bertanya. Tapi kesempatan ini tidak kugunakan untuk hal itu, bagiku tak ada hal yang harus kupertanyakan lagi. Kesempatan itu kugunakan untuk memberi petuah, hal ini memang sudah kurencanakan sejak awal. Kutarik nafas dalam-dalam lalu mulailah aku berceramah… 😀

“Kita tahu bersama bahwa ta’aruf ini adalah bagian dari prosese menuju sebuah sunnah yang mulia yakni pernikahan. Karena ini adalah sebuah proses maka hasilnya bukan sesuatu yang mutlak. Jika setelah ini antum tidak menemukan kecocokan atau merasa belum srek, maka tak mengapa silakan antum memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ini. Jangan terbebani dengan apapun. Saya pun akan demikian. Namun, jika ternyata tidak ada hal yang menjadi penghalang besar, tidak ada alasan syar’i untuk berhenti, maka tentu saya akan tetap melanjutkan proses ini.”

Entah apa yang ikhwan itu pikirkan saat ini. Mungkin ia berfikir aku adalah wanita yang to the point, berani, atau malah galak, sifat yang sangat jauh berbeda dengan akhwat Jawa kebanyakan yang lemah lembut dan pemalu 😀

Pertemuan sore ini pun berakhir dengan sebuah kesepakatan, aku dan dia akan saling mengutarakan keputusan seminggu kemudian ^^

~Bersambung~

——-

NB: Seharusnya akhir dari perjalanan ini sudah tertebak karena si pelakon hari ini masih berstatus jomblo karena Allah ^^ Sudah lama ingin menulis ini tapi saya menunggu waktu yang tepat, tepat untuk siapa saja 😀 Kisah ini sudah setahun berlalu.

_Nurhudayanti Saleh_ (Wotu, 12/11/2016. Karena kenangan hanya ada dalam masa lalu)

4 tanggapan untuk “My First Time – Nadzhar

  1. Terima kasih atas “first time” nya, senang bacanya sambil membayangkan seperti apa adegan2 yang dituliskan. ^_^ . Salam dari saya asal makassar

    Suka

Tinggalkan komentar